A Letter to Younger Me : (Maybe) Life Begins at 21

dear me..
Saat menulis ini, aku seperti memutar waktu. Senang rasanya merasakan kamu, dari sini, dekat sekali.

Aku tahu, keadaanmu tidak sebaik yang kamu katakan pada orang-orang. Meski berusaha keras untuk tetap terlihat seperti yang kamu ucapkan, tetap saja aku bisa melihat ruang kecil di bola matamu, ruang berisi air mata yang siap tumpah kapan saja.

Kamu tahu? sama sepertimu, kejadian di malam tahun baru, 01 Januari 2009 yang lalu masih begitu membekas. Mungkin itu jawaban dari pertanyaan iseng-iseng mu dulu, ‘seperti apakah ujian Tuhan?‘. Ya, itu karena kamu merasa hidupmu selalu baik-baik saja, penuh keberuntungan, dan sangat berwarna kan? Haha, akhirnya kamu sadar juga bahwa Tuhan punya skenarionya sendiri.

Aku tahu, kejadian malam itu kemudian mengubah banyak hal dalam hidupmu. well, maybe life begins at 21. Kamu mulai melihat hidup sebagai permainan yang pelik dan melelahkan. Kamu mulai takut akan berbagai kemungkinan. Kamu tidak lagi melihat semangat yang terus meletup-letup dalam jiwamu. Langkahmu seakan-akan terhenti. Rencana-rencanamu berbalik arah. Bahkan kamu mulai mengikis mimpi-mimpi.

Aku juga sangat tahu, bahwa diam-diam kamu selalu berkata,”semestinya aku meluangkan lebih banyak waktu bersama ibu“.

Masa-masa itu memang berat, mungkin sangat berat. Sekarang, aku hanya bisa tertawa keras saat mengingat usahamu memasak. Ya, usahamu 3 tahun yang lalu patut diacungi jempol, karena itu bukan sekedar menjerang air atau merebus indomie. Kamu berhasil, selamat ya :). Bukan hanya memasak, tugasmu bertambah di sana-sini, mulai dapur, beres-beres rumah sampai kampus. Belum lagi urusan adikmu, si Vika yang kini sudah remaja.

Aku ingat. Kamu juga sangat emosional. Kamu bisa tiba-tiba menangis begitu saja saat kamu merasa sangat jenuh. Kamu sering merasa kesepian dan parahnya lagi kamu sering merasa seolah-olah kehilangan pegangan. Tenang saja, aku tidak kecewa akan sikapmu. Ditinggalkan ibu membuatmu kehilangan separuh jiwa. Sangat manusiawi, aku mengerti itu.

Dear me..

Saat menulis ini, aku bisa merasakan emosimu. Saat itu kamu sungguh tidak siap. Entahlah, kupikir hidup ini adalah seni menghadapi masalah. Aku pikir, saat itu kamu mulai tersadar, bahwa kamu tidak lagi mengurusi hidupmu sendiri. Kamu mulai terbuka, meluangkan lebih banyak waktu untuk keluarga. Kamu punya keluarga dan saudara-saudara yang hebat.

Dear me..

Saat menulis ini, aku seperti berjalan mundur, menghitung sejauh apa langkah yang telah kamu buat. Aku ingat, kamu pernah bilang bahwa “semua nggak akan pernah sama lagi“, perasaan, moment, semuanya. Akan selalu ada ruang kosonng di hati kita yang tidak bisa diisi siapa-siapa lagi. Aku mengerti, aku merasakannya, sampai saat ini. Kata-katamu tidak meleset.

Sudahlah, cukup sekian aku bernostalgia tentangmu. Aku ingin berterima kasih. Karena kamu mau bersabar dan menikmati pelan-pelan perubahan yang terjadi. Beradaptasi dengan masalah dan membiarkan mimpi-mimpimu tetap hidup. Sungguh, aku tidak tahu apa yang terjadi saat ini kalau kamu mengubur mimpi itu dalam-dalam, huh! Oya, jangan pernah menyesal karena merasa tidak meluangkan banyak waktu bersama Ibu. Itu hanya perasaanmu, Ibu sudah tenang disana dan pasti bahagia sambil tersenyum manis melihat kita dari jauh.

Oya, satu hal lagi. Terimakasih telah mengajarkan satu hal penting :

“Berfikir positif sajalah. Sederhanakan masalah, jangan dibesar-besarkan dan dibikin ribet. Setiap kita punya sistem adaptasi alami untuk menyelesaikannya. Percaya, Tuhan nggak mungkin membiarkan kita galau terus menerus. Hidup cuma sekali, jangan dibikin ribet. Enjoy aja!!”

* Tulisan ini dibuat dalam project menulis #ForYoungerMe *

3 thoughts on “A Letter to Younger Me : (Maybe) Life Begins at 21

Leave a reply to showtheideas Cancel reply